Minggu, 06 Februari 2011

Agropolitik Bidang Pangan Nabi Yusuf


By : Rica Winsyah

Hidup segan mati tak mau, itulah mungkin seutas kalimat yang dapat menggambarkan kondisi pertanian Indonesia yang dulunya dikenal sebagai Negara Agraris, khususnya dibidang pangan. Dalam renstra Kementerian Pertanian 2010 - 2014, masalah ketahanan pangan dan energi termasuk masalah krusial yang dihadapi Indonesia. Sejak zaman pemerintahan Belanda sampai sekarang jika berbicara mengenai pangan biasanya selalu terfokus pada beras, sehingga selama ini agropolitik di bidang pangan adalah agropolitik beras sentris. Untuk mengelola supply dan  demand perberasan nasional maka pemerintah berinisiatif membentuk sebuah badan khusus yang fokus mengurusi masalah tersebut yaitu Bulog.
BULOG (Badan Urusan Logistik) dibentuk pada tahun 1967 dengan tugas utamanya mengelola kebijakan beras dengan sasaran mempertahankan harga maksimum dan minimum. Selain beras, Bulog juga pernah mengelola stabilisasi pangan lainnya seperti gula, terigu dan kedelai. Berdasarkan PP No. 7 tahun 2003, Bulog berubah menjadi Perum Bulog yang ditugaskan pemerintah untuk melaksanakan tugas publik dibidang perberasan nasional. Tugasnya meliputi pembelian gabah dalam negeri dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), pengelolaan cadangan beras serta penyediaan dan penyaluran beras untuk keluarga miskin.
Tugas Bulog ini hampir sama dengan tugas yang dijalankan oleh Nabi Yusuf ketika menjadi bendaharawan Kerajaan Mesir pada masanya. Nabi Yusuf menjadi seorang pengawas atas kekayaan bumi dengan sangat teliti, dimana beliau menerapkan sistem distribusi dalam pembagian makanan (gandum). Nabi Yusuf juga membandingkan antara kebutuhan orang-orang yang memerlukan dan persediaan makanan yang akan digunakan di masa yang lalu. Sehingga pada masa pemerintahan Nabi Yusuf, tidak setiap orang yang memiliki daya beli tinggi berkesempatan membeli barang-barang yang ingin disimpan sesuka hatinya.
Di Indonesia sendiri berdasarkan evaluasi selama periode 2004-2008, pertumbuhan produksi tanaman pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi padi meningkat rata-rata 2,78% per tahun (dari 54,09 juta ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008), bahkan bila dibanding produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46%). Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai selama ini, sehingga tahun 2008 Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras, bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Keberhasilan tersebut telah diakui masyarakat internasional, sebagaimana terlihat pada Pertemuan Puncak tentang Ketahanan Pangan di Berlin bulan Januari 2009.  Beberapa negara menaruh minat untuk mendalami strategi yang ditempuh Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan. Namun itu kondisi pada tahun 2008 silam, lalu bagaimana dengan kondisi pangan Indonesia saat ini? Akankah kondisinya masih aman-aman saja mengingat saat ini di beberapa daerah banyak sawah-sawah yang mengalami gagal panen akibat bencana banjir dan gunung meletus? Apabila kondisi gagal panen ini terus menerus berlanjut, tentu saja berpotensi menimbulkan krisis pangan di negeri ini.
Kebijakan Pangan Nabi Yusuf
Apabila kita mengkaji lebih jauh, ternyata terdapat persamaan yang cukup mencolok antara kondisi ketahanan pangan Indonesia dengan Negara Mesir ketika zaman Nabi Yusuf. Kesamaan tersebut merupakan indikator keunggulan dan kecocokan kebijakan yang diterapkan oleh Nabi Yusuf apabila diterapkan di Indonesia. Kesamaan tersebut antara lain : 1). Nabi Yusuf memanfaatkan lahan potensial pertanian untuk intensifikasi pertanian demi mencukupi kebutuhan rakyat Mesir di sepanjang sungai Nil, sementara Indonesia didukung oleh daerah-daerah yang berbasis pangan, salah satunya Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan nasional, 2). Mesir menerapkan sistem penggudangan untuk mengontrol pangan negaranya, sementara Indonesia mempunyai sebuah lembaga yang fokus bergerak untuk mengurusi penggudangan pangan yaitu Bulog, 3). Mesir mempunyai seorang bendaharawan untuk mengelola pangan negaranya, sementara Indonesia mempunyai Badan Ketahanan Pangan untuk mengatasi permasalahan pangan.
Namun ketika ada persamaan, maka ada juga perbedaan. Salah satu perbedaan yang mendasar adalah upaya untuk mengatasi rawan pangan di Mesir didukung oleh pemerintah dan pemimpin yang sangat memperhatikan kisi-kisi ekonomi kerakyatan. Hal ini terlihat dari bagaimana Nabi Yusuf memberdayakan potensi negaranya dengan jalan memberdayakan masyarakatnya secara intensif. Sementara di Indonesia, dukungan tersebut masih dalam tahapan proses peningkatan dan penyegaran dalam berbagai tingkatan pemerintahan.
      Sikap nabi Yusuf tidak hanya cepat dan tepat dalam mengambil tindakan. Sistem pengairan tradisional yang dimana orang mengambil air dari Sungai Nil lalu disiram ke lahan pertanian kemudian diubah secara signifikan. Dibuat kincir dan kanal-kanal sehingga air mengalir dengan lancar tanpa perlu lama-lama orang menimba air dan menyiram lahan pertanian. Jalannya air yang lebih cepat secara otomatis akan mempengaruhi proses dan hasil panen. Pada suatu ketika ada beberapa pemilik lahan yang menyimpan gandum terlalu banyak dan cara menyimpannya dengan telah melepas gandum dari tangkainya sehingga dalam tiga tahun gandum sudah rusak. Sedangkan hasil panen kerajaan yang dikelola oleh nabi Yusuf menyimpan gandum dan masih menempel pada batang tangkainya sehingga tujuh tahun pun, gandum masih layak untuk dikonsumsi.
Dari penjabaran di atas, ada pelajaran menarik yang dapat kita ambil dari kisah kebijakan bidang pangan yang diterapkan oleh Nabi Yusuf. Dalam kebijakannya, Nabi Yusuf telah mengenal teknologi baik di sektor hulu maupun sektor hilir. Pada sektor hulu Nabi Yusuf telah mengedepankan sistem pengairan yang lebih modern, sedangkan pada sektor hilir telah dilakukan sistem penyimpanan pangan dalam keadaan mentah yaitu tidak melepas gandum dari tangkainya. Dalam pengelolaan gudang pun, Nabi Yusuf membeli semua hasil panen dari petani dan melakukan sistem FIFO (First In First Out) dalam pengelolaannya, yaitu hasil panen yang pertama kali masuk gudang digunakan atau dikeluarkan terlebih dahulu dibandingkan hasil panen yang terakhir masuk gudang. Dengan sistem ini, Nabi Yusuf tidak hanya dapat melakukan swasembada pangan untuk negaranya sendiri saja, namun bahkan beliau dapat menjual pangan kepada penduduk negara lain seperti Palestina yang pada waktu itu terkena imbas paceklik. Logikanya, Nabi Yusuf saja berhasil memakmurkan negara Mesir yang sebagian besar daerahnya tandus, maka Indonesia seharusnya lebih berhasil lagi dalam memakmurkan masyarakat melalui dunia pertaniannya mengingat Indonesia adalah negara agraris. Kondisi ketahanan pangan di indonesia dapat dijaga dengan baik, apabila kita dapat mencontoh dari kebijakan yang diterapkan oleh Nabi Yusuf. Bukankah tidak ada salahnya kita mencontoh dari orang lain ketika teladan tersebut memang berguna untuk kita semua.
Strategi Implementasi
Dari pelajaran agropolitik bidang pangan Nabi Yusuf, kita dapat mengambil benang merah bahwa dalam mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai produksi rakyat, pemerintah harus bekerja sama dan mengikutsertakan peran petani atau masyarakat secara intensif. Pemerintah dapat membeli beras dari hasil panen petani sebanyak – banyaknya yang kemudian disimpan oleh Pemerintah melalui Bulog dan digunakan oleh Pemerintah untuk kemakmuran masyarakat. Pembelian produk pangan dari petani lokal ini juga harus diiringi dengan pengurangan ketergantungan terhadap produk pangan impor. Kebijakan pangan yang dicontohkan oleh Nabi Yusuf ini mungkin sangat baik jika diterapkan di Indonesia. Upaya penerapan agropolitik bidang pangan Nabi Yusuf di Indonesia dapat dilakukan dengan cara antara lain: 1). mengajak rakyat secara bersama-sama untuk memperbaiki nasib dunia pertanian, agar sendi-sendi negara tetap berdiri dengan kokoh dan ciri khas sebagai negara agraris lumbung pangan dapat dipertahankan, 2). pemimpin harus membuat kebijakan yang benar-benar berorientasi kepada kemakmuran rakyat terutama kebijakan dalam bidang pertanian sebagai sumber utama penghasil pangan bagi masyarakat, 3). koordinasi yang intensif dan menyeluruh antar lembaga-lembaga yang berhubungan dengan pangan misalnya Badan Ketahanan Pangan, Bulog, penyuluh lapangan, dan lain-lain termasuk dengan para petani sebagai pelaku utama pertanian, 4). sistem manajemen yang ketat terhadap pangan, terutama kebijakan ekspor dan impor, hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengutamakan membeli produk dari petani lokal secara menyeluruh dibandingkan impor dari negara lain, 5). adanya kontrol yang intensif dalam proses pemasukan dan pengeluaran barang di pergudangan pangan.
Akhirnya kita semua berharap semoga di kepemimpinan Kementerian Pertanian yang baru ini dapat membawa kejayaan terhadap dunia pertanian Indonesia. Melalui pelajaran yang dipetik dari kisah sukses Nabi Yusuf, kita berharap semoga permasalahan-permasalahan pangan di negeri ini dapat segera teratasi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan yang tidak kalah penting adalah semoga icon Indonesia sebagai negara agraris dapat kembali terdengar, sehingga dapat menghidupi negara sendiri dan negara lain melalui swasembada pangan.*

2 komentar:

  1. Wah inspiring sekali. Terima kasih tulisannya. Boleh tahu dari mana sumber2 tulisan ini?

    BalasHapus
  2. Terima kasih tulisannya. andai saja pemerintah bisa belajar dari tata kelola beras yg dilakukan oleh nabi Yusuf...
    kl boleh tahu sumber tulisan ini dari mana?

    BalasHapus